Sejarah Hari Pahlawan bermula dari sebuah kota yang tak rela kehilangan kemerdekaannya. Di hari bersejarah itu, 10 November 1945, Surabaya menjadi saksi keberanian luar biasa rakyat Indonesia. Sobat Mada, peristiwa itu bukan sekadar perang, melainkan pertarungan harga diri bangsa yang baru saja merdeka. Pertempuran Surabaya adalah simbol keteguhan hati rakyat yang menolak penjajahan kembali.
Gelora semangat perjuangan terasa di setiap sudut kota. Dari gang sempit hingga jalan besar, rakyat bersatu padu mengangkat senjata. Mereka bukan hanya tentara, tetapi juga pelajar, santri, dan warga biasa. Semua bahu membahu mempertahankan kemerdekaan. Suara orasi Bung Tomo menggema, membakar semangat juang tanpa henti. Itulah awal mula kisah heroik yang kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Baca juga: Hari Pahlawan 2025 Tanggal Merah atau Tidak? Cek di Sini
Sejarah Hari Pahlawan
Latar Belakang
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bangsa ini masih menghadapi ancaman besar dari luar. Jepang memang sudah menyerah kepada Sekutu, tetapi situasi politik di Indonesia masih belum stabil. Di berbagai daerah, termasuk Surabaya, pasukan Jepang masih bersenjata lengkap karena menunggu perintah resmi untuk menyerah.
Nah, dalam kekosongan kekuasaan itu, rakyat Indonesia mulai mengambil alih kantor-kantor pemerintahan, gudang senjata, dan fasilitas penting lainnya. Tujuannya satu: mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan.
Namun, di balik situasi tersebut, muncul bayangan kembalinya penjajahan. Pasukan Sekutu yang datang ke Indonesia membawa misi melucuti tentara Jepang. Tetapi, di dalam pasukan itu, ikut pula Netherlands Indies Civil Administration (NICA), organisasi sipil Belanda yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Rakyat Indonesia, khususnya di Surabaya, menyadari bahwa kehadiran NICA bukan sekadar bantuan Sekutu, melainkan ancaman serius bagi kemerdekaan yang baru diraih.
Pasukan Sekutu di bawah komando Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Tanjung Perak, Surabaya, pada 25 Oktober 1945. Mereka membawa persenjataan lengkap, tank, dan kendaraan lapis baja. Meskipun alasan resminya adalah melucuti senjata Jepang, rakyat Surabaya segera memahami maksud tersembunyi mereka. Suasana di kota menjadi tegang. Rakyat yang baru saja menikmati euforia kemerdekaan, kini harus bersiap menghadapi penjajahan yang tampak ingin kembali.
Insiden Hotel Yamato
Ketegangan semakin memuncak ketika terjadi Insiden Hotel Yamato pada 19 September 1945. Di atas Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit), dikibarkan bendera Belanda merah-putih-biru oleh perwakilan Belanda tanpa izin pemerintah Indonesia. Tindakan itu dianggap sebagai pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia. Para pemuda Surabaya pun naik ke atap hotel, merobek bagian biru bendera itu hingga tinggal merah dan putih. Dari sanalah lahir simbol keberanian rakyat Surabaya mempertahankan kemerdekaan.
Namun, ketegangan tidak berhenti di situ. Seiring meningkatnya konfrontasi antara rakyat dan pasukan Sekutu, terjadilah berbagai bentrokan kecil di sekitar kota. Rakyat menolak memberikan senjata mereka, sementara Sekutu menuntut pelucutan total. Situasi semakin panas ketika pada 30 Oktober 1945 terjadi baku tembak antara pasukan Indonesia dan Sekutu yang menewaskan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, komandan Sekutu di Surabaya. Kematian Mallaby menjadi pemicu besar pecahnya pertempuran besar-besaran.
Baca juga: Hari Sumpah Pemuda 2025: Tema, Logo, Sejarah, & Isi Teks
Kronologi Pertempuran Surabaya
Awal Ketegangan
Kematian Mallaby membuat pasukan Sekutu murka. Mereka menuduh rakyat Surabaya melanggar perjanjian gencatan senjata. Sebagai balasan, Mayor Jenderal E.C. Mansergh, panglima pasukan Inggris di Jawa Timur, mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945. Isinya menuntut agar seluruh rakyat Surabaya dan pasukan Indonesia menyerahkan semua senjata selambat-lambatnya pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Jika tidak, mereka akan melakukan serangan habis-habisan.
Ultimatum itu dianggap sebagai penghinaan terhadap kedaulatan Indonesia. Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan rakyat Surabaya sepakat menolak. Bung Tomo, melalui siaran radio yang menggema ke seluruh penjuru kota, menyerukan perlawanan. Dengan suara lantang dan penuh semangat, ia mengobarkan api perjuangan. Seruannya yang terkenal, “Allahu Akbar! Sekali merdeka tetap merdeka!”, membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bertahan sampai titik darah penghabisan.
Serangan Besar 10 November
Pagi buta 10 November 1945, langit Surabaya berubah menjadi merah oleh letusan bom dan ledakan artileri. Pasukan Sekutu menyerang dari segala arah: laut, udara, dan darat. Kapal perang mereka menembakkan meriam dari perairan Tanjung Perak, sementara pesawat tempur menjatuhkan bom di kawasan pemukiman. Tank dan infanteri Inggris menyerbu ke pusat kota. Meski demikian, rakyat Surabaya tidak gentar. Mereka menjawab serangan itu dengan semangat juang yang membara.
Dengan senjata seadanya—senapan hasil rampasan Jepang, granat rakitan, hingga bambu runcing—rakyat melawan habis-habisan. Dari anak muda hingga orang tua, semua ikut berjuang. Para santri, buruh, petani, dan pelajar menjadi satu barisan. Mereka membangun barikade, menggali parit, dan menggunakan setiap rumah sebagai benteng pertahanan. Di beberapa wilayah seperti Wonokromo, Darmo, dan Tunjungan, pertempuran berlangsung sengit selama berhari-hari.
Perlawanan Rakyat yang Tak Kenal Lelah
Perlawanan rakyat Surabaya dikenal sebagai salah satu pertempuran paling heroik dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Mereka bertempur selama lebih dari tiga minggu tanpa dukungan logistik memadai. Banyak yang gugur, tetapi semangat juang tidak pernah padam. Para wanita ikut membantu dengan memasak, merawat korban luka, dan menjadi kurir pengantar pesan di tengah hujan peluru.
Arek-arek Suroboyo menjadi simbol perlawanan rakyat yang tak mengenal takut. Mereka bukan tentara terlatih, tetapi semangat mereka melampaui keterbatasan senjata. Bung Tomo terus memberikan orasi setiap hari melalui radio untuk membangkitkan semangat rakyat. Suara lantangnya menjadi penguat moral di tengah kehancuran kota.
Akhir Pertempuran
Setelah hampir satu bulan, pasukan Sekutu berhasil menguasai sebagian besar wilayah Surabaya. Namun kemenangan itu tidak berarti mutlak. Kota hancur, ribuan korban berjatuhan, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi ke daerah lain. Diperkirakan lebih dari 6.000 pejuang Indonesia gugur dalam pertempuran ini. Sekutu pun kehilangan banyak prajuritnya.
Meski secara militer Surabaya jatuh, secara moral Indonesia menang besar. Pertempuran Surabaya mengguncang dunia. Negara-negara lain mulai melihat bahwa bangsa Indonesia benar-benar serius memperjuangkan kemerdekaannya. Dari peristiwa inilah lahir semangat nasionalisme yang menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Tanggal 10 November pun dikenang dan ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional, sebagai penghormatan kepada keberanian dan pengorbanan rakyat Surabaya.
Pertempuran ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Dari Surabaya, lahir pesan kuat bahwa kemerdekaan tidak pernah datang dengan mudah. Ia harus diperjuangkan, dipertahankan, dan dijaga oleh setiap anak bangsa.
Baca juga: Sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober: Makna, Tokoh, dan Isi Teks
Tokoh-Tokoh di Pertempuran Surabaya
Tokoh-tokoh ini memiliki latar belakang dan peran yang berbeda, namun disatukan oleh satu tujuan: mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah sosok yang menginspirasi rakyat untuk tidak menyerah, bahkan ketika kota mereka hancur lebur oleh gempuran Sekutu.
1. Bung Tomo (Sutomo)
Sutomo, yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo, adalah suara perlawanan rakyat Surabaya. Ia bukan jenderal bersenjata, tetapi orator ulung yang mampu mengguncang semangat rakyat melalui siaran radio. Dalam situasi genting, Bung Tomo memimpin perang psikologis melawan pasukan Sekutu dengan kata-kata penuh keyakinan dan semangat jihad.
Ia membakar jiwa para pejuang dengan seruannya yang terkenal: “Allahu Akbar! Merdeka atau mati!” Suara itu menggema dari rumah ke rumah, dari pos ke pos, membuat rakyat yang sebelumnya takut berubah menjadi pemberani. Bung Tomo juga menolak segala bentuk kompromi yang dianggap merendahkan kedaulatan bangsa.
Bung Tomo lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Sejak muda, ia sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan yang kuat. Sebelum pertempuran, ia aktif di organisasi kepemudaan dan menjadi wartawan. Pengalaman itu membuatnya fasih berbicara dan memahami denyut rakyat.
Dalam masa pertempuran, Bung Tomo memanfaatkan radio sebagai alat perjuangan paling ampuh. Di tengah keterbatasan komunikasi, siarannya menjadi pengikat moral rakyat Surabaya. Hingga kini, nama Bung Tomo dikenang sebagai simbol keberanian tanpa batas dan semangat nasionalisme yang murni.
2. Gubernur Suryo
Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) Suryo, atau yang lebih dikenal sebagai Gubernur Suryo, adalah Gubernur Jawa Timur pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan. Di tengah kekacauan dan tekanan dari pasukan Sekutu, Gubernur Suryo berdiri teguh membela kepentingan rakyat.
Ia adalah figur pemimpin yang tenang, berwibawa, dan penuh kebijaksanaan. Saat ultimatum Sekutu diumumkan, Gubernur Suryo menolak dengan tegas. Ia memilih berdiri di sisi rakyat daripada tunduk pada ancaman penjajahan. Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa kemerdekaan tidak untuk dinegosiasikan.
Sikap keberaniannya menular pada rakyat Surabaya. Dalam rapat-rapat penting menjelang pertempuran, Gubernur Suryo berperan besar mempersatukan kekuatan sipil dan militer. Ia juga menjaga komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah agar perjuangan tetap terkoordinasi.
Sayangnya, beberapa tahun setelah pertempuran, beliau diculik dan dibunuh oleh kelompok pemberontak PKI pada tahun 1948. Namun jasanya tetap abadi. Ia dikenang sebagai sosok pemimpin yang rela berkorban demi bangsa dan rakyatnya.
3. Mayjen Sungkono
Tokoh penting berikutnya adalah Mayjen Sungkono, komandan pertahanan militer Surabaya yang berperan strategis dalam mengatur taktik perlawanan. Sebagai mantan perwira tentara PETA (Pembela Tanah Air), Sungkono memiliki pengalaman militer yang mumpuni.
Ketika situasi di Surabaya semakin genting, ia menyusun sistem pertahanan berbasis sektor, membagi kota menjadi wilayah barat, tengah, dan timur untuk memudahkan koordinasi perlawanan. Ia juga menggabungkan kekuatan militer dengan kelompok-kelompok rakyat seperti TKR (Tentara Keamanan Rakyat), laskar pemuda, dan santri dari berbagai pesantren.
Baca juga: Isi Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang Asli
Semangat dari Sejarah Hari Pahlawan
Sejarah Hari Pahlawan 10 November 1945 bukan hanya cerita masa lalu. Namun, juga cermin bagi generasi masa kini. Dari pertempuran di Surabaya, Sobat Mada bisa belajar tentang arti pengorbanan, persatuan, dan keberanian. Nilai-nilai itu menjadi pondasi yang membuat bangsa ini tetap berdiri kokoh. Setiap tetes darah yang tertumpah di medan perang adalah simbol cinta tanah air yang sejati.
Melalui sejarah Hari Pahlawan, kita diingatkan untuk tidak melupakan jasa mereka yang telah gugur demi kemerdekaan. Semangat juang para pahlawan harus tetap hidup di hati setiap warga negara. Bunda dan keluarga bisa menanamkan nilai-nilai perjuangan ini kepada anak sejak dini. Ajarkan mereka tentang pentingnya mencintai tanah air, menghormati sesama, dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan.
Mengenang sejarah Hari Pahlawan berarti menghargai perjalanan panjang bangsa menuju kemerdekaan. Bukan hanya lewat upacara atau simbol seremonial, tapi lewat tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mari, Sobat Mada, jadikan semangat para pahlawan sebagai motivasi untuk berkarya lebih baik. Bersatu, berani, dan berjuang di bidang masing-masing demi Indonesia yang lebih maju.
Pegiat dunia pendidikan. Suka menulis artikel-artikel seputar pendidikan dan novel. Kini, ia sebagai kepala tim marketing Bimbel Presmada.








